Dunia
mendaulatnya sebagai `Bapak Sosiologi Islam’. Sebagai salah seorang
pemikir hebat dan serba bisa sepanjang masa, buah pikirnya amat
berpengaruh. Sederet pemikir Barat terkemuka, seperti Georg Wilhelm
Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J Toynbee, Ernest Gellner, Franz
Rosenthal, dan Arthur Laffer mengagumi pemikirannya.
Tak heran, pemikir Arab, NJ Dawood menjulukinya sebagai negarawan,
ahli hukum, sejarawan dan sekaligus sarjana. Dialah Ibnu Khaldun,
penulis buku yang melegenda, Al-Muqaddimah. Ilmuwan besar yang terlahir
di Tunisia pada 27 Mei 1332 atau 1 Ramadhan 732 H itu memiliki nama
lengkap Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami
Al-Ishbili. Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut (Yaman) yang
bermigrasi ke Seville (Spanyol) pada abad ke-8 M, setelah semenanjung
itu ditaklukan Islam.
Setelah Spanyol direbut penguasa Kristen, keluarga besar Ibnu Khaldun
hijrah ke Maroko dan kemudian menetap di Tunisia. Di kota itu, keluarga
Ibnu Khaldun dihormati pihak istana dan tinggal di lahan milik dinasti
Hafsiah. Sejak terlahir ke dunia, Ibnu Khaldun sudah hidup dalam
komunitas kelas atas.
Ibnu Khaldun hidup pada masa peradaban Islam berada diambang
degradasi dan disintegrasi. Kala itu, Khalifah Abbasiyah di ambang
keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan
wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh
puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun.
Guru pertama Ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Sejak kecil, ia
sudah menghafal Alquran dan menguasai tajwid. Selain itu, dia juga
menimba ilmu agama, fisika, hingga matematika dari sejumlah ulama
Andalusia yang hijrah ke Tunisia. Ia selalu mendapatkan nilai yang
memuaskan dalam semua bidang studi.
Studinya kemudian terhenti pada 749 H. Saat menginjak usia 17 tahun,
tanah kelahirannya diserang wabah penyakit pes yang menelan ribuan
korban jiwa. Akibat peristiwa yang dikenal sebagai Black Death itu, para
ulama dan penguasa hijrah ke Maghrib Jauh (Maroko).
Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Ibn Khaldun dalam pandangan Penulis
Barat dan Timur memaparkan, di usia yang masih muda, Ibnu Khaldun sudah
menguasi berbagai ilmu Islam klasik seperti filsafat, tasawuf, dan
metafisika. Selain menguasai ilmu politik, sejarah, ekonomi serta
geografi, di bidang hukum, ia juga menganut madzhab Maliki.
Sejak muda, Ibnu Khaldun sudah terbiasa berhadapan dengan berbagai
intrik politik. Pada masa itu, Afrika Utara dan Andalusia sedang
diguncang peperangan. Dinasti-dinasti kecil saling bersaing
memperebutkan kekuasaan, di saat umat Islam terusir dari Spanyol. Tak
heran, bila dia sudah terbiasa mengamati fenomena persaingan keras,
saling menjatuhkan, saling menghancurkan.
Di usianya yang ke-21, Ibnu Khaldun sudah diangkat menjadi sekretaris
Sultan Al-Fadl dari Dinasti Hafs yang berkedudukan di Tunisia. Dua
tahun kemudian, dia berhenti karena penguasa yang didukungnya itu kalah
dalam sebuah pertempuran. Ia lalu hijrah ke Baskarah, sebuah kota di
Maghrib Tengah (Aljazair).
Ia berupaya untuk bertemu dengan Sultan Abu Anam, penguasa Bani Marin
dari Fez, Maroko, yang tengah berada di Maghrib Tengah. Lobinya
berhasil. Ibnu Khaldun diangkat menjadi anggota majelis ilmu pengetahuan
dan sekretaris sultan setahun kemudian. Ia menduduki jabatan itu selama
dua kali dan sempat pula dipenjara. Ibnu Khaldun kemudian meninggalkan
negeri itu setelah Wazir Umar bin Abdillah murka.
Ia kemudian terdampar di Granada pada 764 H. Sultan Bani Ahmar
menyambut kedatangannya dan mempercayainya sebagai duta negar di
Castilla, sebuah kerajaan Kristen yang berpusat di Seville. Tugasnya
dijalankan dengan baik dan sukses. Namun tak lama kemudian, hubungannya
dengan Sultan kemudian retak.
Dua tahun berselang, jabatan strategis kembali didudukinya. Penguasa
Bani Hafs, Abu Abdillah Muhammad mengangkatnya menjadi perdana menteri
sekaligus, khatib dan guru di Bijayah. Setahun kemudian, Bijayah jatuh
ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad, gubernur Qasanthinah (sebuah kota di
Aljazair). Ibnu Khaldun lalu hijrah ke Baskarah.
Ia kemudian berkirim surat kepada Abu Hammu, sultan Tilmisan dari
Bani Abdil Wad yang isinya akan memberi dukungan. Tawaran itu disambut
hangat Sultan dan kemudian memberinya jabatan penting. Iming-iming
jabatan itu ditolak Ibnu Khaldun, karena akan melanjutkan studinya
secara otodidak. Ia bersedia berkampanye untuk mendukung Abu Hammu.
Sikap politiknya berubah, tatkala Abu Hammu diusir Sultan Abdul Aziz.
Ibnu Khaldun kemudian berpihak kepada Abdul Aziz dan tinggal di
Baskarah. Tak lama kemudian, Tilmisan kembali direbut Abu Hammu. Ia lalu
menyelamatkan diri ke Fez, Maroko pada 774. Saat Fez jatuh ke tangan
Sultan Abul Abbas Ahmad, ia kembali pergi ke Granada buat yang kedua
kalinya. Namun, penguasa Granada tak menerima kehadirannya.
Ia balik lagi ke Tilmisan. Meski telah dikhianati, namun Abu Hammu
menerima kehadiran Ibnu Khaldun. Sejak saat itulah, Ibnu Khaldun
memutuskan untuk tak berpolitik praktis lagi. Ibnu Khaldun lalu menyepi
di Qa’lat Ibnu Salamah dan menetap di tempat itu sampai tahun 780 H.
Dalam masa menyepinya itulah, Ibnu Khaldun mengarang sejumlah kitab yang
monumental.
Di awali dengan menulis kitab Al-Muqaddimah yang mengupas
masalah-masalah sosial manusia, Ibnu Khaldun juga menulis kitab Al-`Ibar
(Sejarah Umum). Pada 780 H, Ibnu Khaldun sempat kembali ke Tunisia. Di
tanah kelahirannya itu, ia sempat merevisi kitab Al’Ibar.
Empat tahun kemudian, ia hijrah ke Iskandaria (Mesir) untuk
menghindari kekisruhan politik di Maghrib. Di Kairo, Ibnu Khaldun
disambut para ulama dan penduduk. Ia lalu membentuk halaqah di Al-Azhar.
Ia didaulat raja menjadi dosen ilmu Fikih Mazhab Maliki di Madrasah
Qamhiyah. Tak lama kemudian, dia diangkat menjadi ketua pengadilan
kerajaan.
Ibnu Khaldun sempat mengundurkan diri dari pengadilan kerajaan,
lantaran keluarganya mengalami kecelakaan. Raja lalu mengangkatnya lagi
menjadi dosen di sejumlah madrasah. Setelah menunaikan ibadah haji, ia
kembali menjadi ketua pengadilan dan kembali mengundurkan diri. Pada 803
H, dia bersama pasukan Sultan Faraj Barquq pergi ke Damaskus untuk
mengusir Timur Lenk, penguasa Mogul.
Berkat diplomasinya yang luar biasa, Ibnu Khaldun malah bisa bertemu
Timur Lenk yang dikenal sebagai penakluk yang disegani. Dia banyak
berdiskusi dengan Timur. Ibnu Khaldun, akhirnya kembali ke Kairo dan
kembali ditunjuk menjadi ketua pengadilan kerajaan. Ia tutup usia pada
25 Ramadhan 808 H di Kairo. Meski dia telah berpulang enam abad yang
lalu, pemikiran dan karya-karyanya masih tetap dikaji dan digunakan
hingga saat ini. (hri–republika)
===
Al-Muqaddimah Karya yang Abadi
Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibnu Khaldun bersama
keluarganya menyepi di Qal’at Ibn Salamah istana yang terletak di negeri
Banu Tajin selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itu, Ibnu
Khaldun berhasil merampungkan sebuah karya monumental yang hingga kini
masih tetap dibahas dan diperbincangkan.
`’Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan Al-Muqaddimah,
sebuah karya yang seluruhnya orisinal dalam perencanaannya dan saya ramu
dari hasil penelitian luas yang terbaik,” ungkap Ibnu Khaldun dalam
biografinya yang berjudul Al-Ta’rif bi Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban
wa Sharqan. Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu memukau. Tak heran, jika
ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee menganggap Al-Muqaddimah sebagi
karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah.
Menurut Ahmad Syafii Ma’arif, salah satu tesis Ibnu Khaldun dalam
Al-Muqaddimah yang sering dikutip adalah: `’Manusia bukanlah produk
nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.” Secara
garis besar, Tarif Khalidi dalam bukunya Classical Arab Islam membagi
Al-Muqaddimah menjadi tiga bagian utama .Pertama, membicarakan
histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim.
Kedua, Al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur. Bagi Ibnu Khaldun,
ilmu tersebut merupakan dasar bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas
lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai
dengan abad ke-14. Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang
berjudul Al-`Ibar, kenyataannya Al-Muqaddimah lebih termasyhur.
Pasalnya, seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan
sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara
menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian
yang kritis.
`’Di tangan Ibnu Khaldun, sejarah menjadi sesuatu yang rasional,
faktual dan bebas dari dongeng-dongeng,” papar Syafii Ma’arif.
Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia politik pada
masanya, Ibnu Khaldun mampu menulis Almuqaddimah dengan jernih. Dalam
kitabnya itu, Ibnu Khaldun juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum
kemasyarakatan dan perubahan sosial.
Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History, lewat
Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan
dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar
sosiologi. Salah satu prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai
ilmu kemasyarakatan antara lain; `’Masyarakat tidak statis,
bentuk-bentuk soisal berubah dan berkembang.”
Pemikiran Ibnu Khaldun telah memberi pengaruh yang besar terhadap
para ilmuwan Barat. Jauh, sebelum Aguste Comte pemikir yang banyak
menyumbang kepada tradisi keintelektualan positivisme Barat metode
penelitian ilmu pernah dikemukakan pemikir Islam seperti Ibnu Khaldun
(1332-1406).
Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun mengutamakan data empirik,
verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian.
Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat
ini. `’Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan
hukum-hukum sosial,” papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon.
source: KLIK DISINI
0 comment:
Posting Komentar